Jumat, 20 Agustus 2010

RINDUKAN SAHABAT

berjanjilah wahai sahabatku,,
bila kau tinggalkan aku
tetaplah tersenyum..
meski hati sedih dan menangis..,
kuingin kau tetap tabah menghadapinya,

bila..
kau harus pergi meninggalkan diriku
jangan lupakan aku..

semoga dirimu di sana
kan baik-baik saja
untuk selamanya..

di sini,,
aku kan selalu rindukan dirimu..
wahai sahabatku..

rindukan,, dirimuu.. =')

"sahabat"

mereka menyayangimuu,,
tapi bukand kekasihmu,.
mereka perhatian kapadamu,,
tapi bukand keluargamuu.
mereka siap berbagi rasa setiap suka dan duka..
tapi mereka tidak berhubungan darah dengand muu..

mereka adalahh...

SAHABAT..

sahabat sejati,,
.marah seperti ayah,
.peduli seperti ibu,
.mengganggu seperti kakak,
.mengesalkan seperti adik,,

tapi..
mereka menyayangimu LEBIH dari seorang kekasihh..


terimakasih, sahabadt.. :)

Minggu, 15 Agustus 2010

Blue Letter and White Rose (Violin Prince) -Part 1-

Riuh tepuk tangan seisi gedung terdengar meriah, sesaat setelah alunan musik biola When I Fall in Love selesai dengan sempurna. Pemuda pemain biola itu terlihat tampan dengan balutan celana dan tuxedo berwarna putih dengan kemeja putih di dalamnya. Semakin serasi dengan biola putih yang dibawanya sejak 10 menitan yang lalu. Senyum maut yang-bisa-bikin-melting-seluruh-kaum-hawa sang pemuda itupun kembali tercipta. Tapi ternyata di balik senyumnya itu dia menyebunyikan sesuatu. Matanya terlihat sedang memandang kursi bagian penonton. Seperti mencari sesuatu.

Tiba-tiba dari backstage terlihat sang mama pemuda itu dan memanggilnya. Serentak diapun membungkukkan badan dengan hormat sebagai tanda permainannya telah usai.

“What a best performance, boy..” teriakan seorang wanita paruh baya dari backstage dan mencoba memeluk seorang Pemuda yang bernama Reno itu.

“Thank You, Mam..” kata Pemuda itu sembari membalas pelukan ibundanya tercinta.

Mama Renopun menanyakan kenapa Reno terpaku di atas panggung selama beberapa saat setelah permainannya selesai. Renopun menceritakan semua yang selama 2 minggu terakhir ini menjadi pikiran olehnya.

------ Flashback on -------

Sebuah amplop biru muda dan setangkai mawar putih terletak di teras rumah kediaman keluarga Albern. Tiba-tiba ada seorang wanita patuh baya yang mencoba mengambil barang sedari tadi menjadi objek pengamatannya. Rupanya dia adalah seorang kepala pembantu di rumah tersebut. Dilihatnya surat tersebut, dan membaca bagian depan amplop surat. “To : Violin Prince.” Tiga kata tersebut terucap dari mulut wanita itu. Diapun langsung melangkahkan kaki ke dalam rumah majikannya dan menyerahkan surat itu kepada si-alamat-surat yang berhak menerima.

Pintu putih itupun dibuka, terdengar sebuah alunan lagu klasik dari ruangan tersebut. Si-alamat-surat yang tertera pada surat tersebut memainkan biolanya. Tiba-tiba permainan itu terhenti, ketika Pemuda itu mendengar hentakkan kaki dari arah pintu kamarnya.

“Ada apa Bi..?” kata Pemuda itu sambil meletakkan biola pada king size bed nya.

“Ini, ada surat untuk Reno.” Begitulah para pembantu memanggil Reno. Bukan memanggil dengan kata tuan muda atau kata yang sederajat dengan itu. Reno lebih suka di panggil dengan nama aslinya Reno. Pikir Reno, dengan panggilan tersebut dapat membuatnya lebih akrab dengan para pembantu di rumahnya.

Renopun memandangi amplop surat tersebut. Cantik. Berwarna biru muda, dan di atasnya terdapat bunga mawar putih kesukaan Reno. Tulisan alamat-tujuan pun terlihat begitu sangat rapi.

Dia memulai membukanya. Terdapat beberapa kalimat dengan tulisan yang sangat-amat rapi tertera pada kertas yang selaras dengan amplop surat tersebut. Matanya mulai terpaku pada tulisan indah itu dan memulai membacanya.

Sempat ku berpikir..
Tak ada gunanya aku hidup di dunia yang fana ini..
Semua cahayaku telah hilang..
Hanya ada titik-titik kegelapan yang mulai menghiasi hariku..
Tapi..
Ternyata semua itu salah..
Cahaya itu kembali datang..
Melalui gesekan tiap gesekan alunan melodimu..
Thanks for all ..

Mungkin kata itu terlihat tidak begitu sempurna. Tapi, kata tersebut dapat membuat si-alamat-surat itu tersenyum. Satu minggu kemudian, dia mendapati amplop yang persis dengan amplop kemarin pada teras rumahnya. Mungkin seminggu kemarin yang mengantarkan adalah Bi Okki, tapi kali ini dia sendiri yang mengambilnya. Masih sama seperti kemarin, amplop biru muda dengan mawar putih yang setia mendampingi surat tersebut.

Dia kembali membuka amplop tersebut. Dia mendapati kembali tulisan rapi itu menghiasi baris demi baris kertas surat.



Senyum indahmu..
Tatapan mata teduhmu..
Alunan lembut melodimu..
Akan selalu menjadi cahaya hidupku..
Aku sadar..
Aku adalah sesosok perempuan yang tak sempurna..
Aku mungkin hanya bisa melihatmu dari kejauhan..
Aku mungkin hanya bisa mendengar setiap melodimu..
Tapi..
Izinkan aku memelihara perasaan..
Yang sudah lama tak ku rasa..
DEG.!! Getar itu kembali datang, getar yang mungkin selama 1,5 tahun yang lalu tak pernah ia rasakan. Getar itu kembali tumbuh, ketika Reno membaca 2 kalimat akhir bait puisi tersebut. Perasaan..? Cinta..? Atau Sayang..? Atau perasaan bahagia seperti fans jika bertemu sang idolanya. Kalimat itu terus membayangi otaknya. Reno memasukkan surat tersebut pada laci, tempat di mana surat pertama dari-seseorang-yang-tak-pernah-tahu-siapa itu di simpannya.

------ Flashback end -------

Mendengar cerita anak kedua sekaligus anak bungsunya, mama Reno menjadi tersenyum dan mengatakan hal-hal kecil pada Reno. Senyum wanita itu kembali mengembang, bersamaan dengan langkah kakinya menuju alphard hitamnya. Sudah lama anak bungsunya itu tidak merasa gelisah tak karuan karena sesosok perempuan. Terakhir dia mendapati Reno bersikap seperti itu, sebelum perempuan yang di sayanginya meninggal karena penyakit leukimia 1,5 tahun yang lalu.

~Bersambung :)
Waaaa, baru coba-coba.. :D, Hope u like it!!

Love is Basket

“Di bilang gue nggak bisa ya nggak bisa.!!” kataku sambil membanting bola basket yang sedari tadi berada di tanganku.
Kali ini dia kembali mendesah. Bukan desahan kesal, lebih tepatnya desahan kesabaran untuk mengatasi emosiku. “Ayolah De, gue yakin loe bisa.” Yakinnya kepadaku.
“Gue nggak bisa basket, Yo. Dribble aja gue kagak becus.!! Apalagi ngeshoot.? I can’t do it.” Kataku dengan nada suara yang ditinggikan.
“You can do it, Dea!!! Cuma loe butuh banyak latihan lagi.” Rio berjalan ke arah ku sambil memberikan bola basket yang tadi ku lempar ke tanah.
Aku mengambil bola itu dengan kesal. “Terusin besok aja.” Dari jarak sekitar 5 m aku kembali melemparkan bola itu pada Rio.
*
Akhir-akhir ini, aku fokuskan kegiatanku pada latihan basket yang di gurui oleh sahabatku sendiri, Rio. Rio adalah satu-satunya sahabatku yang dapat mengatasi emosiku. Aku belajar basket bukan karena keinginanku sendiri. Semua ini karena aku di tantang oleh Shilla yang bernotabene sebagai kapten basket cewek di SMA ku, SMA Eustacya.
Bayangkan, seorang aku yang di kenal tidak bisa olahraga sekalipun kecuali lari yang mungkin -hanya digunakan untuk kejar-kejaran-, di tantang oleh seorang kapten basket. Mustahil bagiku untuk mengalahkan kapten basket seperti dia. Yang mungkin sudah di kenal kehebatannya. Sedangkan, aku? Hanya pemula yang di beri waktu belajar selama 3 minggu. Aku ulangi 3 MINGGU !!!
Aku melangkah gontai ke arah lapangan basket. Seperti biasa, Rio sudah ada di sana untuk menunggu kedatanganku. Lagi-lagi desahan kekesalanku kembali datang. Aku masih menyesali perbuatanku 3 hari yang lalu.
--- Flashback On ---
“Heh, apa-apaan sih loe, seenaknya aja ngrebut Rio dari gue.?” Kata Shilla yang dengan menenteng bola basket di tangan kanannya.
Kaget. Itulah hal pertama yang ku rasakan. Ngrebut? Bukannya Rio tak ada hubungan apa-apa dengan Shilla. Kenapa Shilla bilang aku ngrebut Rio dari dia? Aneh.
“What.?? Gue denger apa.?? Gue ngrebut Rio dari loe..??” Aku mendesah. “Hellooo, sang leader basket kita. Rio bukan siapa-siapa loe kan? Jadi, apa yang membuat loe berpikir kalo Rio tuh gue rebut dari loe.? Gue udah sahabatan sama dia sejak lama kali. Sahabat, deket hal yang wajar kan. Kecuali kalo dia udah punya cewek. Mungkin, gue akan sedikit jaga jarak sama Rio. Sekarang? Rionya aja biasa-biasa aja tuh gue deketin. Kenapa loe yang sewot.???” Kataku emosi. Memang aku di kenal sebagai cewek yang mudah terpancing emosi.
“Loe nggak usah SOK deh.” Kata Shilla sambil menggebrak meja ku.
“Heh?! Loe pikir ini meja nenek moyang loe apa?!? Siapa lagi yang SOK.?? Emang harus ya, seorang kapten basket cewek dan seorang kapten cowok jadian.?? Nggak kan.?!?” Aku tak sadar bahwa berpuluh pasang mata sedang menatap kami sejak tadi.
“Gini aja deh. Gue ama loe tanding basket. Siapa yang menang, dia yang berhak ngedeketin Rio. Kalo loe nolak permintaan gue, berarti loe ngaku kalah. Gimana? Deal?” Shilla mengulurkan tangan, menanti uluran tanganku.
Aku berpikir sejenak. Basket.? Lari aja mungkin K.O, apalagi Basket. Entah roh apa yang merasuki pikiranku. Dengan segera aku menyanggupi tantangan ini.
“DEAL !!”
--- Flashback Off ---
“Kenapa loe.? Kusut amat. Harusnya semangat dong, bukannya loe mau latihan basket.??” Rio melemparkan bola basket ke arahku. Aku menangkapnya dengan malas.
Aku menarik sudut bibirku, agar terbentuk sebuah senyuman. “Yah, senyum loe aja nggak ikhlas gitu.” Kata Rio sambil merebut bola basket dariku dan melemparkannya ke ring. Masuk.
“Kalo emang loe pengen bisa, yang niat latihannya. Waktunya 2,5 minggu lagi kan.? Katanya mau ngalahin sepupu loe.?” Aku memang sengaja tak menceritakan alasanku berlatih basket kepada Rio. Memang, tak lama lagi sepupuku dari Malang akan datang ke rumahku. Tapi, bukan untuk bertanding basket denganku. Itu hanya alibiku untuk menutupi semuanya dari Rio.
“Iya..iyaa.. sekarang gue beneran niat deh. Siniin bola basketnya.” Tanganku mengadah meminta sesuatu.
Rio melemparkan bola basketnya. “Latihan dribble yang bener dulu. Masa dari kemarin bola basketnya mulu yang ngatur loe. Seharusnya loe yang ngatur tuh bola basket.”
“OK. It’s very easy.”
Aku mencoba mendribble bola basket yang sekarang berada di tanganku. Pantulan pertama cukup baik, kedua, ketiga, sampai akhirnya…
“Eits..eitss..eitss, loe mau ke mana, sini-sini balik ke gue..” kataku sambil mengejar bola basket yang menggelinding. Rio tertawa kecil melihat tingkahku. Aku langsung mendelik ke arah Rio.
“Santai aja dong, kalau mau dribble tuh jangan pakek telapak tangan.” Kata Rio sambil mengambil bola basket di sudut lapangan.
“Trus.? Pakek apa.? Pakek kaki.???? Aneh.” Tukasku.
“Kalo sepak bola dribble pakek kaki.” Aku menatapnya dengan tatapan tanya. “Kenapa? Kaget? Emang dribble cuman ada di basket gitu.?” tanya Rio sambil memainkan bola di tangannya.
“Setahu gue sih basket.” Jawabku singkat, sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Konsep dari dribble itu menggiring bola, bukan bola yang menggiring loe.” Aku manyun di buatnya.
Rio mengacak-acak rambutku. “Jangan cemberut gitu dong, jelek nanti. Gini gue ajarin ya. Bungkukin badan loe, tapi jangan terlalu bungkuk. Nanti di kira nenek-nenek loe.”
“Udahlah, lanjut nggak usah basa-basi.”
“Iya, iya. Pokoknya bikin posisi senyaman mungkin lah. Pandangan tetep lurus ke depan, bola jangan terlalu rendah n jangan terlalu tinggi, sedang aja. Dorong bola ke tanah pakek ujung-ujung jari, bukan telapak tangan.” Rio mendribble bola di tempat. Aku melihat setiap cara Rio mendribble bola orange itu.
‘Keren juga si Rio. Ish, apaan sih gue. Masa gue suka ama dia. Jangan sampe’, nanti nenek sihir ngomel lagi.’ Gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Kenapa loe.? Terpesona loe ama cara main gue.” Canda Rio, seakan tahu apa isi pikiranku.
“Amit-amit deh. Mending sama monyet di taman safari.”
“Beneran.? Awas aja kalo loe sampe’ terpesona ama gue.”
“Sampe’ lebaran monyet pun gue nggak akan suka ama loe, Riooo. Yang ada loe yang suka ama gue.” Rio hanya melirikku sebentar.
“Bisa di ketawaen gue. Masa Kapten Basket di SMA Eustacya, suka sama macannya SMA Eustacya. Hiii..” Rio bergidik.
“RIOOO.. rese banget loe. Pakek ngatain gue macan lagi. Udah deh, mana bolanya, gue mau nyoba.” Rio tertawa lepas sambil menyerahkan bola basket yang berda di tangannya.
*
BRUKK..
Aku kembali menelan ludahku yang terasa pahit. Bola itu masuk untuk yang ke 16 kalinya. Aku yang melihat Shilla melakukan lay up dengan sempurna, membuatku menjadi terancam kalah. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Bukankah dia hebat dalam bermain basket.? Kenapa masih saja dia melakukan latihan itu.? Sebegitu besarnya kah keinginan Shilla untuk bersama Rio.? Sepertinya keputusanku menyanggupi permintaan Shilla hanya membuatku menjadi bingung. Bukan bingung karena takut akan kekalahan. Tapi, bingung akan perasaanku. Apakah aku menyukai Rio.? Kalau tidak, mengapa aku menyanggupi permintaan Shilla untuk bertanding dengannya, semata-mata hanya karena aku tak ingin kehilangan Rio. Kalau iya, kapan perasaan itu hadir.?

*
Hari ini sudah masuk hari ke 17, berarti 4 hari lagi aku akan bertanding dengan Shilla. Hari ini juga, Rio menantangku bertanding basket untuk mengetes kemampuanku. Aku menyanggupinya. Kapan lagi aku bisa bertanding dengan kapten basket, yang mungkin sangat di gandrungi kaum hawa di sekolah.?
“Udah siap loe.?” Tanyaku pada Rio.
“Haha, nggak salah denger nih. Seharusnya gue yang nanya loe udah siap apa belum. Kalo gue sih, siap-siap aja.” Rio menyombongkan diri.
Aku memutar bola mataku. “Nggak usah sombong dulu deh. Kita liat aja nanti.” Senyuman licik terlukis di wajahku.
Rio menatapku. “Maut amat senyuman loe.”
Aku mengangkat alis. “Kenapa.? Takut.? Apa senyum gue bikin loe melted.??”
“Yee.. PD amat loe.” Aku merebut bola yang berada di tangan Rio. Dan mencoba melemparkannya ke arah ring. Berharap bola tersebut akan masuk, kalau nggak bisa malu-maluin. Dan akhirnya. Masuk.
Tepukan tangan dari Rio terdengar. “Putri Macan udah bisa ngeshoot nih?”
“Sia-sia waktu 17 hari kalo cuman gue buat main-main. Apalagi latihannya gratiiiiiiissss..”
“Oh. Gue kirain, gara-gara gue yang nglatih.”
“Udah ah, katanya mau tanding.”
“Ok, karena ini cuman mau ngetes kemampuan loe, jadi gak bakal gue bagi jadi 4 quarter. Mainnya 1 babak aja, and waktunya 15 menit. Gimana?” Rio menanti jawabanku.
“Ok, 15 menit.” Jawabku pasti.
Gugup. Mungkin itulah yang aku rasakan sekarang. Baru kali ini aku bertanding basket. Sesuatu yang sangat tidak aku kuasai beberapa waktu lalu. Tapi sekarang beda, aku sudah menguasai beberapa teknik basket yang di ajarkan sahabatku, Rio.
Lemparan bola pertama berhasil aku rebut. Tapi, dengan kemampuan Rio yang sangat jauh lebih baik dari pada kemampuanku, dia berhasil merebutnya. Three points berhasil di cetak oleh Rio. Skor sementara 3-0.
Bola dapat ku kuasai sekarang. Pada menit ke 5, Rio masih mengungguliku dengan skor 7-3. Pada menit ke-7 aku mencoba melakukan shooting, tapi gagal.
Menit ke 11, aku semakin tertinggal jauh. 18-7 untuk Rio. Decakkan lidahku kembali terdengar merdu di telingaku, mungkin juga di telinga Rio. Rio selalu memblock shoot dariku. Skorku dan Rio terus bertambah, seiring bertambahnya waktu. 20-9 untuk Rio di menit ke 14.
Sekitar 20 detik menjelang berakhirnya permainan, Rio melakukan lay up shoot. Skor 33-10 untuk Rio. 12 detik menjelang tuntasnya permainan aku berhasil merebut bola dari Rio. Rio menghadangku, dengan langkah pasti aku langsung melewatinya, dan mencoba mencetak three points. Aku memejamkan mataku, berharap ada suatu keajaiban yang akan membawa bola itu masuk ke ring. Dan akhirnya..
BRUKK..
Tepuk tangan. Itulah yang aku dengar, seiring bunyi alarm jam tangan Rio yang menandakan 15 menit telah terlewati. Aku segera membelalakan mataku dan refleks memeluk Rio.
Aku melepaskan pelukanku “Yah, tapi tetep aja kalah, huft..”
Rio memegang puncak kepalaku dan tersenyum ke arahku. “Permulaan yang bagus.”
Aku segera duduk di pinggir lapangan sembari menyeka keringatku. “Tapi kan, peluang gue buat ngalahin tuh cewek jadi kecil, kecil banget malahan.”
Rio terlihat kaget. “Hah.? Cewek.? Bukannya sodara loe dari Malang itu Alvin ya.? Dia kan cowok. Sejak kapan dia berubah jadi cewek.???”
“Engg, maksud gu..e, cowok !! ya cowok!! emang tadi gue bilang cewek ya?” tanyaku gugup. Rio mengangguk mantap. “Udahlah, lupain aja, nggak penting juga.” Kataku.
“Gimana? Masih mau latihan ama gue.?” Tanya Rio.
“Pasti lah. Mau belajar ke mana lagi coba? Ke Cina kaya kata-kata pepatah itu? Kalo loe modalin, mau banget gue.” Sebuah cengiran terlukis di wajahku.
“Bangkrut gue nanti. Kenapa loe nggak belajar ke Shilla aja.?”
Pertanyaan Rio membuatku tersentak. “Udah deh, kalo emang loe nggak mau ngajarin gue, ya udah gue bakal latihan sendiri. Repot banget sih !!” kataku ketus.
“Lah, kok loe marah?”
“Tau!!” jawabku singkat. “Gue mau pulang. Capek. Terusin besok aja latihannya!” aku berjalan menjauhi Rio.
*
H-1. Aku semakin giat berlatih. Entah, motivasi apa yang membuatku ingin menang dari Shilla. Takut kehilangan Rio-kah.? Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Mungkin, ini salah satu bentuk keinginan seseorang untuk menang dalam persaingan atau pertandingan.
Tapi, sekuat apapun aku menepis anggapan itu, anggapan itu semakin meyeruak dalam pikiranku. Terlalu banyak faktor pendukung. Pertama, bukankah aku bertanding hanya demi seseorang yaitu, Rio? Kedua, bukankah apabila aku kalah dalam pertandingan ini, tak kan ada salah seorang temanpun yang akan membesar-besarkan hal ini? Toh, di sekolah aku tidak tergabung dalam EBC (Eustacya Basketball Club) ? Hanya satu jawaban yang mampu menjawab kedua pertanyaan tersebut, YA.
Ah, masa bodoh dengan semua itu. Toh, kalah menang itu urusan nanti. Yang penting, satu bidang Olah raga bisa sedikit ku kuasai sekarang. Padahal, dulu tak ada satupun bidang Olah raga yang dapat ku kuasai. Ini semua berkat dua orang temanku, Rio dan Shilla.
Deheman dari seseorang –yang mungkin sangat familiar untukku- terdengar dari teras rumahku. Rio. Dia datang dengan membawa handuk kecil di lehernya sambil menenteng bola basket pada tangan kirinya.
“Besok kan tandingnya. Nih.” Aku menangkap sesuatu yang di lempar Rio. “Latihan sekarang.” Perintahnya.
Aku membuntuti Rio dari belakang. “Latihan di mana.?” Tanyaku.
“Di GOR Agatha.” Jawab Rio santai.
Aku membulatkan mulutku, ber-oh ria. “Jalan kaki?”
Rio menggeleng dengan cepat. Aku menatap Rio dengan tatapan tanya. Terus pakai apa? Bukankah Rio ke rumahku jalan kaki.? “Lari.” Jawabnya datar. Mulutku mengaga. Lari?!!
“Mau bunuh gue loe?” tanyaku dengan kesal.
“Lari nggak bakal bikin loe meninggal. Kalo bisa loe kalahin gue.”
“Gila ya loe, gimana gue mau ngalahin loe. Ibaratnya nih ya, loe udah nyampe’ finish, lah gue.? Paling baru mulai. Gak bisa, Gak bisa.” Kataku.
“Yaudah, gue tinggal.”
“Eits, iya deh iya. Huh, mau latihan susahnya minta ampun. Kebanyakan permintaan loe.”
Rio hanya melirikku sebentar, without a comment. Dengan segera, dia mengambil langkah seribunya, sedangkan aku? Hanya dia biarkan melongo sendirian di pinggir jalan.
“Rese loe, maen tinggal aja. TUNGGUIINNN!!!” kataku dengan nada yang tinggi sambil menyusul Rio.
*
“Menang, gak, menang, gak. Arrrghh, bodo amat dah.” Aku melirik lapangan basket dari ruang ganti. Sudah ada Shilla di sana. Sudah dari 15 menit yang lalu. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum keluar dari ruang ganti.
“Udah siap loe.?” Kataku. Sepertinya aku pernah mengatakan hal ini.
“Seharusnya gue yang nanya.” Kata Shila ketus.
“Yakin loe bisa ngalahin gue, sok banget loe waktu itu maen trima aja.” Tanya shilla sambil memainkan bola basketnya.
Aku terdiam sejenak. “Suka-suka gue dong. Apa urusan loe.?”
“Bukan karena takut kehilangan Rio.?” Tanya Shila. Datar.
Pertanyaan Shilla membuatku speechless. Pertanyaannya, sama persis dengan apa yang ku tanya pada diriku sendiri. “Gue.. gue nggak mau aja loe anggep looser. Karena gue kalah sebelum tanding.” Jawabku sekenannya.
“Yakin? Cuma itu aja? Kalo loe kalah, inget janji loe. Rio bakal jadi milik gue seutuhnya.!” Respon Shilla ketus.
“Iya, gue inget ama janji itu. Tapi loe juga harus inget, walaupun Rio nanti jadi milik loe, yang jelas Rio bakal tetep jadi sahabat gue. Nggak bakal berubah.” Kataku dengan nada yang tak kalah ketusnya dengan Shilla.
Shilla memutar kedua matanya. “Grrr.. terserah deh, gue juga kasian ama loe. Kalo jauh dari Rio loe mewek lagi.”
“Udah deh, nggak usah banyak basa-basi. Mending di mulai aja tandingnya..!!” kataku.
“Gede juga nyali loe! Ok, di pertandingan ini, bakal gue buat dua babak. Satu babaknya 15 menit.” Shilla tersenyum meremehkanku. Aku mengangguk dengan mantap.
“Ok, gue setuju.”
Babak pertama di menit pertama, belum ada satupun dari kami yang berhasil mencetak skor. Ku kira di menit pertama Shilla akan mengungguliku, seperti pertandinganku dengan Rio kemarin. Ku terus merebut bola dari Shilla. Tapi, di menit yang ke-3 Shilla berhasil melakukan three point. Aku mendesah kesal.
Di menit yang ke-11, Shilla kembali mengungguliku. 20-15 untuk skor sementara. Aku mencoba merebut bola dari Shilla, tapi dengan segera Shilla melakukan shooting. Berkali-kali dia memblock shoot yang kulancarkan.
Menit ke-14, skor semakin bertambah. 25-22 untukku. Aku sedikit tidak percaya, bahwa aku bisa sedikit mengungguli Shilla yang bernotabene sebagai pemain cewek terbaik di sekolah. Aku mengakhiri babak pertama dengan memblock shooting dari Shilla.
Babak kedua. Sepertinya Shilla semakin menikmati permainan ini. Terlihat dengan cara Shilla yang terus memberiku sentuhan block darinya ketika ku melakukan shoot. Peluangku untuk memasukkan bola mejadi semakin kecil.
Lay up, teknik yang sering dilakukan Shilla dalam turnamen basket selama ini. Bahkan dia dijuluki The princess of Lay up di sekolah. Aku berusaha menggagalkan lay up Shilla. Bukannya strategi Shilla yang berhasil kugagalkan, tapi aku yang gagal untuk mempersulit Shilla. Huh, desahanku kembali terdengar.
40-35 untuk Shilla di menit ke-13 ini. Aku semakin ingin untuk mengejar ketertinggalanku. Aku mencoba menge-shoot bola dan masuk. Tepat di menit yang ke 14. 40-36 untukku. Waktu terus berjalan. Ini adalah detik-detik terakhir pada babak yang menentukan menang tidaknya aku dalam pertandingan ini. Bola sedang berada di tanganku sekarang, ini kesempatan bagiku untuk melakukan three point dari posisiku sekarang. Dengan sedikit melirik ke arah Shilla, aku kembali mengarahkan pandanganku pada ring basket di depanku. ‘Tiga, Dua, satu… lempar..’ gumamku dalam hati sembari melemparkan bola pada hitungan terakhir. Aku sedikit memejamkan mataku, dan berharap ada suatu kekuatan yang mendorong bola itu masuk tepat pada sasaran.
BRUKK..!!
Aku membuka mataku, melihat bola yang kulempar tadi berhasil masuk, dan mendengar alarm dari hp Shilla yang menandakan permainan telah berakhir. 40-39 untuk Shilla. Sebentar, 39.? Selisih satu dengan Shilla dan Shilla mengungguliku. Berarti, aku kalah dalam pertandingan ini.?
Aku mencoba tersenyum, walaupun hatiku terasa sakit. Akupun tak tahu, apa yang membuatku menjadi sakit seperti ini. “Selamat ya, Shill. Loe menang. Sekarang Rio bakal jadi milik loe seutuhnya.” Aku mengulurkan tanganku kepada Shilla, untuk memberi congrats padanya.
Shilla tersenyum simpul ke arahku. “Hmm.? Nggak salah.?”
Aku mengerutkan dahiku. “Apanya yang salah.? Gue nyoba untuk fair. Gue udah janji, n pasti bakal gue tepatin.”
“Loe yang salah.” Kata Shilla, sambil melakukan shoot.
Aku semakin bingung. “Loe yang menang, Dea.” Kata-kata Shilla membuatku tak mengerti. Mungkin sekarang wajahku terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Bingung.
Shilla melihat ke arahku. “Liat ke belakang sekarang.” Tanpa pikir panjang, akupun langsung memutar balikan badanku ke arah belakang. Tiba-tiba desiran lembut menggetarkan hatiku.
“Ri..Rio.” kataku terbata-bata. Entah, kenapa aku menjadi sangat gugup ketika melihat mata Rio.
“Bingung.? Gue yang ada di balik semua ini, Dea.”Rio menghampiri Dea.
“Maksud kalian apa sih.? Gue makin bingung.”
“Waktu itu, gue nggak bener-bener suka sama Rio. And Rio yang ngerencanain ini semua. Sebenernya, Rio suka ama loe.” Jelas Shilla.
Aku kembali merasakan desiran lembut itu. Apakah yang aku dengar tadi hanya sekedar angan atau memang fakta? Rio meraih tanganku dan kembali membuka mulut.
Rio menatapku lembut. “De, apa yang gue rasain sekarang, persis banget sama permainan bola basket. Gue bola basketnya dan loe ring basketnya. Bola basket akan selalu berusaha masuk ke ring, sampai dia berhasil. Tapi, nggak sampai di situ aja, bola basket akan selalu berusaha untuk memasukinya lagi and menambah skor lebih banyak lagi. Seperti itulah gue, gue selalu berusaha untuk memasuki ring basket pilihan gue. Gue ingin masuk ke kehidupannya, dan memberi warna-warna di hidupnya. Gue ingin selalu membuatnya tersenyum. Gue ingin melihat dia nyaman kalo di deket gue. Gue ingin selalu ngelindungin dia. Tapi, seandainya dia nggak mau nrima gue nggak papa, gue akan selalu berusaha memasuki ring yang semakin tinggi itu. Dea..” Rio menghela nafas. “Would you be my basket.?”
Rio masih saja menatapku, yang membuatku semakin salting. “Ehmm, maksud loe.. Loe nembak gue?” tanya ku ragu.
“Menurut loe?”
Aku berpikir sejenak. “Gue mau jadi ring basket yang bertambah tinggi aja deh.” Jawabku sekenanya.
Rio berdiri. “Ya nggak bisa lah. Orang loe sama gue tinggian gue.” Kata Rio sambil membandingkan tinggi badannya dengan tinggi badanku.
Aku memajukan bibirku. Ngambek. “Ish, Riooo. Di apa-apain juga loe ama gue tetep tinggian loe.”
“Haha, udah tau gitu, masih aja pengen jadi ring yang makin tinggi.”
“Iya, iya. Ring basketnya mau kok.” Kataku. Salting. Mungkin sekarang kedua pipiku sudah seperti kepiting rebus.
“Beneran?” Aku mengangguk kecil.
Reflek Rio memelukku. “Thanks. I Love You my basket.”
“I Love You too, my basketball.”
“Ehm, hm.. Kacang-kacang, 1000 dapet 5.” Teriak Shilla, yang merasa dirinya di cuekin.
Rio tetap memelukku erat. “Udah deh Shil, lagi bagus-bagusnya juga. Nggak usah ngganggu deh.”
“Iya nih, ajak Riko sono. Pasti mau deh.” Tambahku.
“Ih, kaliaaaaann, udah bagus gue mau bantuin kalian berdua. Awas loe, kena timpukkan dari gue baru puas loe!” kata Shilla sambil mengambil posisi untuk melemparkan bola basket di tangannya kepada kami berdua. Sedangkan, kami? Segera mengambil langkah seribu untuk menghindari serangan dari Shilla.

--- The End ---

Sorryyy banget kalo ada kesalahan dalam pembuatan pertandingannya. Maklum saya tuh penulis amatir yang nggak tau menahu soal basket :p *alasan*. Haha, apapun alasannya yang penting ada yang mau baca. Maaf juga kalo ceritanya monoton, alesannya sama, saya tuh penulis amatiran. Hope u like it 

Aferatha

Aferatha
Ajeng - FEbri - eRA- marTHA