Reva menarik nafasnya dalam-dalam sebelum memasuki kelas IPA3. Ya Tuhan, kenapa dia harus menghabiskan lebih banyak Oksigen dan lebih banyak mengeluarkan Karbon dioksida, hanya untuk memanggil KEVIN.? Apalagi dengan kondisi lapisan ozon yang semakin hari semakin parah saja.
Dia mencoba melangkahkan kaki kirinya ke dalam ruangan. Mengapa harus takut seperti ini. Emangnya mau masuk kandang macan.? Bahkan Reva pikir kelas ini lebih sekedar kandang macan yang ada di ragunan.
Dia memantapkan hati untuk memasuki ruangan tersebut. Tentu saja, masih dengan tatapan jutek yang sedari tadi terlukis indah di wajahnya. Kakinya langsung tergerak menuju sudut ruangan, tempat di mana Kevin-Noval dkk nongkrong.
“Val..” pangggil Reva dengan mantap. Yang di panggilpun hanya menoleh dan tetap duduk di kursi yang sedari tadi menjadi singgasananya.
“Ada apa Rev.?” Tanya Noval dengan tatapan tanya. Noval memang sudah lebih dahulu mengenal Reva, sejak dia dekat dengan Via.
“Loe, sama temen loe yang namanya KEVIN itu di suruh nemuin Bu Uchie sekarang.” Balas Reva dengan memberi tekanan pada kata Kevin.
“Ok deh..!! Vin, kita di panggil ama Bu Uchie.” Novalpun beranjak dari kursinya.
Kevin hanya menoleh, dan tetap dalam posisi sebelumnya, duduk di samping Randy. “Hmm..Gue juga di panggil.? Perasaan nggak ada yang manggil gue deh, Val.”
Reva yang semula ingin membalikan badannya, tiba-tiba terhenti oleh sesuatu yang memegang pundaknya, tangan Noval. “Mending loe urus deh, si Kevin. Kalo nggak di panggil langsung, dia nggak bakal mau ke sana.”
Mulut Reva terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat Noval menyela Reva. “Dari pada loe yang kena semprot Bu Uchie gara-gara loe nggak nglaksanaen perintahnya.” Bisik Noval sepelan mungkin. Reva memutar kedua matanya dan mendengus kesal. ‘Rese banget sih jadi orang.’
Reva melangkahkan kakinya menuju ke bangku yang sedari tadi di duduki Kevin. Berat rasanya untuk melangkahkan kaki ke arah Kevin, seperti ada beban 1ton yang terantai bebas di kakinya. Air muka yang di tunjukkan Reva tetap seperti awal tadi, kesal.
Lagi-lagi Reva harus membuang tenaganya hanya untuk menarik nafas dalam-dalam sebanyak satu kali. Bukan karena takut menghadapi Kevin, tetapi dia hanya ingin mengatur emosinya. Tatapan Kevin masih terpaku pada hp di depanya. Tangannya tengah asyik menari-nari di atas tombol di hp qwerty yang berada dalam genggamannya. Sedang apa dia? Twitter-an? Nge-game? Chatting-an? Ah Masa Bodoh.
Reva kembali menarik nafas, kali ini tarikan nafasnya lebih singkat daripada sebelumnya. Tentu saja, dia tak ingin menghabisikan kadar oksigen dan menambah kadar CO2 di bumi ini hanya karena Kevin yang bernotabene sebagai rival Reva sejak pagi tadi.
Reva mulai membuka mulut dan menyampaikan amanah Bu Uchie. “Vin, loe di panggil ama Bu Uchie sekarang.” Reva mencoba untuk mengatakan kalimat itu sedatar mungkin.
“Hmm.. Minggir Rand, gue mau lewat..” Randypun menggeser sedikit kursinya, dan memberikan celah agar Kevin bisa lewat. Dia melewati Reva tanpa menoleh ke arah Reva sedikitpun. Sombong. Reva memutar bola matanya dan membuang muka dari Kevin.
Tiba-tiba, air muka Reva berubah. Seperti kesakitan, lebih tepatnya menahan sakit. Ternyata, dengan sengaja kaki Kevin menginjak kaki Reva. Tenang Reva, tenang, biarin aja dia menang kali ini, tapi tidak untuk selanjutnya.
***
Reva kembali merebahkan tubuh di kasur. Dia mendesah sesaat. Matanya terpaku pada pigura yang terletak di meja sebelah kasurnya. Senyum lebar dan pancaran kebahagiaan terpampang manis dari pigura tersebut. Reva mengulurkan tangannya, mencoba meraih pigura yang sedari tadi menjadi objek pengamatannya. Terlihat sepasang orang tua dan sepasang adik kakak, sedang berlibur ke disney land. Di sebelah mereka terdapat badut minnie dan micky yang ikut tersenyum.
“Kapan keluarga gue bisa kaya gini lagi. Ka Sheila, kenapa loe pergi secepat ini sih.? Gue jadi gak punya temen buat cerita.” Tanpa Reva sadari, butiran-butiran hangat melesat turun ke pipinya.
Kakak Reva, Sheila sudah meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan. Tepat di ulang tahun Sheila ke 17 tahun. Butiran hangat itu semakin banyak, mereka saling berlomba untuk sampai ke pipi Reva. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
TOK TOK TOK..
“Non Reva, makanan udah siap.” Ternyata Bi Inem yang mengetuk pintunya.
“Iya Bi. Reva ganti baju dulu.” Teriak Reva dari kamarnya. “Huh.. Makan siang seperti biasanya, sendiri, nggak ada nyokap atau bokap yang nemenin. Kapan mereka bisa nemenin gue makan, barang sebentar aja.” Kata Reva sambil mengambil baju di lemarinya.
***
Setelah menukar bajunya (red. ganti baju), Kevin langsung menuju ke ruang makan. Beberapa waktu yang lalu, mamanya baru saja mengetuk pintu kamarnya dan mengajak Kevin untuk makan siang.
Dia duduk tepat di hadapan mamanya. Bila makan siang seperti ini, di meja makan hanya ada sesosok ibu yang menemani Kevin, tetapi penghuni ruang makan bertambah, ketika makan malam dan sarapan pagi tiba.
Di depan Kevin sudah berjejer manis, masakan mamanya. Aroma masakan seakan menusuk hidung dan mengetuk pintu lapar Kevin yang sedari tadi terkunci.
“Makan yang banyak ya, Vin. Mama sudah capek-capek masak nih.” Senyuman lembut terlintas pada wajah sesosok ibu tersebut.
“Siipp.. Mumpung papa gak ada. Jadi makanan Kevin yang habisin.” Papa Kevin dan Kevin selalu mengadakan perang garpu di saat makan tiba. Mereka saling berebut masakan-masakan lezat yang berjejer manis di meja itu. Suasana itu yang sangat di nanti-nantikan Mama Kevin. Di mana mereka bisa saling tertawa lepas satu sama lain.
***
Reva kembali memasukan sesendok nasi yang sedari tadi terhempas di piring Reva. Sudut matanya kembali mengeluarkan butiran hangat, dan kembali berlomba menuju pipi Reva.
Bukan suasana ini yang Reva harapkan. Bukan. Di ruang makan yang sebesar ini, hanya ada satu yang menempatinya. Reva sangat merindukan hangatnya makan bersama keluarga. Sungguh, kehidupan Reva terlihat sangat kontras dengan kehidupan Kevin.
Bersambung :)
baguz......
BalasHapuslanjutkan.........